Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu—yang secara resmi bernama Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur—ditetapkan pada 2014. Dengan luas lebih dari 3,3 juta hektare di Nusa Tenggara Timur, taman ini menjadi kawasan konservasi laut terbesar di Segitiga Terumbu Karang. Terletak di pertemuan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, taman nasional ini memiliki saluran laut dalam, tebing bawah laut yang curam, dan arus kuat. Kondisi unik ini memicu naiknya massa air laut dalam yang dingin (upwelling), yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas perairan. 

Lingkungan kaya akan nutrien ini menopang keanekaragaman hayati yang luar biasa, meliputi lebih dari 500 spesies karang (76% dari seluruh karang pembentuk terumbu di Ekoregion Sunda Kecil), 10 dari 13 spesies lamun di Indonesia, dan delapan (8) spesies mangrove. Taman ini merupakan satu dari dua kawasan konservasi laut di Indonesia yang secara resmi ditetapkan untuk mamalia laut dan menjadi habitat penting sekaligus koridor migrasi bagi 22 spesies mamalia laut, termasuk paus biru, paus sperma, paus bungkuk, tujuh spesies lumba-lumba, dan satu spesies duyung. Data visual dan akustik juga menunjukkan bahwa kawasan ini berfungsi sebagai lokasi berkembang biak tropis bagi paus sperma.

Rincian

Tanggal Penetapan

Dicadangkan melalui keputusan menteri pada tahun 2009;
ditetapkan secara resmi melalui keputusan menteri pada 2014

Luas

3.355.352,82 hektare, termasuk sekitar 79.700 hektare zona larang tangkap

Taman Nasional Perairan Laut Sawu memiliki keterikatan mendalam dengan warisan budaya dan mata pencaharian masyarakat pesisir di Nusa Tenggara Timur. Di wilayah ini, banyak penduduk bergantung pada penangkapan ikan, budidaya rumput laut, produksi garam, dan pengumpulan hasil laut. Rencana pengelolaan taman ini menekankan pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati sekaligus mempertahankan tradisi dan praktik ekonomi lokal. Hal ini dilakukan dengan mengakui nilai-nilai budaya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya perlindungan laut. Hukum adat, misalnya Papadak dan Hoholok di Rote Ndao, mengatur zona penangkapan ikan, jenis alat tangkap, batas panen, serta pengelolaan limbah. Hukum-hukum ini berfungsi sebagai sistem pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang efektif. Praktik tradisional lainnya, seperti pengumpulan karang untuk kapur (Keruga) di Sabu Raijua dan penutupan musiman kolam pasang surut (Lilifuk) di Kupang, diintegrasikan ke dalam zona pemanfaatan yang telah ditetapkan. Keterlibatan masyarakat menjadi kunci keberhasilan taman ini. Kelompok-kelompok lokal berperan aktif dalam restorasi mangrove, konservasi penyu laut, serta menerapkan pengetahuan tradisional ke dalam peraturan formal. Semua upaya ini memperkuat pengelolaan sumber daya dan mendukung ketahanan lingkungan serta ekonomi masyarakat.