Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Lease di Provinsi Maluku meliputi Pulau Saparua, Nusa Laut, dan Molana, dan bagian timur Pulau Haruku. Tutupan karang keras di kawasan ini mencapai 100% di sejumlah lokasi, yaitu di Nusa Laut, Saparua Timur, dan Molana. Koloni karang masif berbentuk bongkahan—diperkirakan telah berusia ratusan tahun—menjulang setinggi empat hingga enam meter di sebelah timur Nusa Laut. Hiu sirip hitam sering terlihat di sepanjang lereng terumbu. Kawasan ini juga menjadi habitat bagi spesies dilindungi seperti kuda laut, penyu, dugong, dan lumba-lumba. Dugong—diklasifikasikan sebagai Rentan dalam Daftar Merah IUCN—sering terlihat merumput di padang lamun di sekitar Desa Booi, Oma, dan Aboru, terutama di Teluk Saparua dan Teluk Paperu. Penyu kerap muncul di Itawaka, sementara lumba-lumba pemintal—sering terlihat bersama anak-anaknya melompat di permukaan air—dapat dijumpai antara Sila dan Nalahia. Setiap tahun, antara September dan November, paus sperma melintasi perairan Kepulauan Lease.
Rincian
|
Tanggal Penetapan 6808_1c0a6e-8b> |
Dicadangkan oleh Pemerintah Provinsi Maluku pada 2016; ditetapkan secara resmi melalui keputusan menteri pada 2021 6808_efec1c-41> |
|
Luas 6808_0d7016-46> |
67.484,19 hektare, mencakup 1.390,85 hektare zona larang tangkap 6808_ecf8a3-54> |
Peta Zonasi


Kepulauan Lease memiliki sejarah panjang dalam pengelolaan laut berbasis kearifan lokal. Praktik adat sasi adalah contoh yang paling menonjol. Sistem sasi mengatur kapan dan bagaimana sumber daya laut tertentu dapat dipanen. Aturannya mencakup penutupan musiman, pembatasan alat tangkap, serta ketentuan yang disepakati masyarakat. Spesies yang dikelola melalui sasi di Kepulauan Lease antara lain lola (Trochus niloticus), teripang (kelas Holothuroidea), dan ikan lompa (Thryssa baelama). Hasil panen dapat dibagikan untuk konsumsi lokal—seperti lompa di Pulau Haruku—atau dijual untuk mendanai kegiatan masyarakat, misalnya untuk panen lola di Desa Noloth. Ciri khas lain dari perikanan tradisional di kawasan ini adalah pasi, yaitu wilayah penangkapan ikan laut dalam untuk kakap merah dan diyakini menempati habitat terumbu karang dalam. Setidaknya terdapat 25 pasi yang dikenal di sekitar Kepulauan Lease. Nilai budaya dan ekonomi dari pasi telah diakui dalam rencana pengelolaan kawasan konservasi ini sehingga wilayah tangkap tradisional tersebut diakomodasi bersama dengan zona larang tangkap dan zona pemanfaatan berkelanjutan.
Tata kelola kawasan konservasi ini memadukan sistem zonasi resmi dan partisipasi masyarakat. Sistem zonasi mencakup area perlindungan penuh, pemanfaatan berkelanjutan, dan pariwisata bahari. Fungsinya adalah melindungi keanekaragaman hayati sekaligus mendukung perikanan, mata pencaharian, dan ketahanan pangan. Inisiatif berbasis masyarakat memperkuat langkah-langkah ini: Pejuang Laut melatih pemimpin-pemimpin lokal untuk menyebarkan pengetahuan konservasi dan mendorong praktik berkelanjutan, sementara Proyek Kalesang Dugong melibatkan warga dalam pemantauan dugong dan habitat lamun. Upaya berbasis ilmu pengetahuan warga ini telah mendorong lahirnya peraturan di tingkat desa—termasuk peraturan perlindungan pesisir dan laut di Desa Mahu. Sementara itu, aksi nyata seperti pendirian bank sampah di Desa Ouw membantu mengurangi limbah plastik di area padang lamun. Secara keseluruhan, pendekatan ini menunjukkan bagaimana kepemimpinan pemerintah dan pengelolaan tradisional dapat berjalan beriringan dalam menjaga kelestarian lingkungan laut Kepulauan Lease.






